Selamat Datang !

Sajian Tulisan Text, Poetry, Puisi, sajak, Cerpen ,dari Tawin QM dan Kawan,

Terimakasih atas kunjungannya dan semoga tetap selalu mau berkunjung !

Sampai Junpa !

Cerita Pendek

Ramadhan

Pagi hari
Hari itu terasa sangat sepi dan sunyi sekali, dikarenakan hari libur Nasional 17 Agustus,
dan terdengar sayup suara TV warga para tetangga yang mengikuti liputan acara di Istana Negara yang sedang merayakan hari Kemerdekaan itu.
Seperti biasanya, jikalau tidak ada hal yang harus kukerjakan, aku duduk didepan Meja, yang diatasnya ada Layar Monitor dan papan huruf Abjad dari sebuah PC  yang beraplikasi OpenOffice untuk menulis dan mencatat.

Aku sedang asyik sendiri, tak biasanya diriku merasa bugar dan ceria seperti pagi hari ini, yang biasanya kurang tidur atau melupakan waktu makan karena perutku terisi kopi hitam pait yang kugemari dan membuat tak terasa lapar.
Tiba tiba ada getar mendahului nada dering pada celana pendekku yang gombor, dari HP(alat hubung genggam), seraya aku bertanya dalam hati:”Siapa? Yang menghubungiku pada hari sepagi ini?”.
Kakak perempuanku, yang beserta keluarganya bertempat tinggal jauh dariku didaerah Elite alias mewah berkolam renang ukuran 10 x 5 Meter dibilangan Jakarta Selatan itu, mengundangku untuk bersantap siang disana. Salah satu putrinya ingin memperagakan Menu masakan yang baru, untuk kita semua, dan mengharapkan pendapat, apakah ada hasil atau tidak, yaitu enak atau segera dilupakan.
Bergegas aku berpakaian dan sedikit upaya untuk supaya kelihatan sedikit rapih dan ganteng, maklum kegenitan bujangan harap dimengerti, yang penuh harap dalam perjalanan bertemu wanita cantik jelita yang mau sedikit menoleh dan memandang diriku, menyemangati perjalanan yang lumayan jauh, dari Kota Bekasi menuju Jakarta Selatan.

Tujuan utamaku menuju kesana ialah menemui Ibuku yang sudah dua minggu tak bertemu, dan kebetulan sudah lebih dua hari bermalam disana.
Seperti biasanya kucium tangannya sebelum aku mencium pipinya seraya memeluk dan menempelkan mukaku kewajahnya. Kulihat senyumnya agak terpaksa, membuat aku curiga, apa salahku? Kadangkala Ia mengatakan badanku bau belum mandi atau berbau rokok yang memualkan, tapi sekali ini dia seperti bisu dan hambar menerima kehadiranku.
Basa dan basinya kukenal betul, tapi tidak kali ini.
Pada jamuan makan tiba, semua seperti biasa, penuh ceria, gelak tawa, menghilangkan rasa kangen antara sanak saudara, dan menikmati Menu masakan dengan sungguh tanpa merasa canggung dan sungkan untuk mengatakan atau mengisyaratkan betapa lezat dan enaknya hidangan itu, terlebih lagi dihiasi, tingkah laku yang lucu anak dari keponakanku yang perempuan, menambah suasana menjadi lebih riang dan gembira.
Kulihat disudut meja, Ibuku tidak seperti biasanya, ikut disuasana ceria yang penuh hidangan diatas meja itu, dengan suasana seperti biasanya, ceria dan nyaman,apabila hadir dirinya ditengah kami semua. Sifat Ibuku yang suka 'meladeni' sirna oleh wajahnya yang seakan menahan sesuatu yang membebani dan sulit untuk dikatakan pada sekelilingnya yang hadir disana.
Kakak laki tertua, juga sama dengan diriku mengamati Ibuku, dan berkata pada kakak perempuanku:”Mama kelihatannya keanginan dan duduknya kayaknya nggak enak”,
“Mama, mau duduk dikursi ini?”, sambil kakak tertuaku mengangkat kursi yang agak rendah dan kelihatan agak nyaman. Kulihat Ibuku duduk dengan nyamannya dikursi itu, yang untuk wanita berumur delapan puluh tahun lebih sangat enak posisinya, jangankan untuknya, untuk orang sepertiku saja, sangat asyik untuk berkhayal bertemu bidadari disiang hari bolong, Kursi itu memang dibeli untuk keperluan liburan dan bisa dibawa kepantai atau berlibur kepegunungan, seperti wanita kulit putih yang sering terlihat berjemur menggunakan jenis itu agar kulitnya menjadi indah, berwarna coklat seperti kulitku.
Sebentar kulirik Ibuku yang berubah jadi pendiam dan tak banyak gelak tawa melihat cicitnya yang lucu atau acuh terhadap keceriaan kita semua. Selera makanku belum begitu terganggu karena aku tidak mengetahui secara pasti, apa yang terjadi pada Ibuku pada waktu seceria dan gembira ini.
Kakak perempuanku bangkit dari kitaran meja makan dan mendekati Ibuku dengan suara yang agak pelan, dan aku sempat melirik untuk nengetahui apa yang diutarakan dipembicaraan itu, dengan gerakan badan yang kelihatan ingin membantu Ibuku bangkit dari kursi dan pindah,”Mama, mau nasuk kekamar aja ya? Disini terlalu angin dan kelihatan nggak enak badan?! Tiduran dikamar aja ya, ma?”, kata kakak perempuan yang sudah mulai membantu untuk bangkit, dan kakak tertua yang penuh perhatian itu bergegas cepat menuju kedekat Ibuku. Dirumah kakak perempuanku terdapat tiga ruang makan dan tiga meja makan, satu diruang dapur yang dirancang dengan gaya barat yang cukup luas, satu lagi diruang tengah disudut ruang santai dan bergabung dengan ruang TV dipojok pada ruangan yang lumayan luas, dan yang satu lagi, dimana saat itu hidangan itu dinikmati, terletak di beranda dibelakang bangunan rumah yang juga luas, ruangan yang berada diluar yang menghadap kekolam renang.
Aku memang terlihat acuh melihat semua itu dan terus menikmati hidangan secara perlahan lahan, dan kucoba satu persatu apa yang ada diatas meja. Mesipun kadang kami sama sama beradu pandang di Meja makan, saling bertanya, mungkin, apa yang terjadi pada Ibuku.
Tepat sekali dugaanku sewaktu aku sudah selesai menikmati hidangan itu, ketika mendengar kabar, bahwa Ibuku tidak enak badan dan sedikit merasa tidak sehat serta terasa lemas badannya.
Kini aku mengerti perubahan yang terjadi pada Ibuku.
Dan aku tak perlu bertanya lagi kepada diriku, apakah aku ada salah? Seperti biasanya, apa bila aku mempunyai kesalahan Ibuku tidak murah senyum lagi dan sedikit acuh terhadap perilaku diriku.
Tidak tahu aku sebabnya, mengapa Ibuku membandal tidak ingin meminum obatnya sesuai anjuran dokter, dan mengulur waktu hingga kakak perempuanku setengah memaksa, agar ia mau melakukan itu demi kesehatannya sendiri.
Aku panik dan hampir tidak tahu lagi dimana diriku berpijak, ketika tiba tiba Ibuku hampir tidak sadar diri, dan merasa ada sesuatu yang hinggap menyelinap kejasmaninya, membuat dirinya menjadi lemah dan pucat pasi seperti tidak tidur dua malam lamanya.
Kucari keterangan selanjutnya dan bertanya gencar pada kakak perempuanku, kaka iparku, juga ponakanku serta kakak tertua dan lainnya yang hadir pada saat itu.
Mereka nyaris menyalahkan Adik lelakiku, yang bertempat tinggal tak jauh dasri kediamanku, bahwa Ibuku dibuat betah dan terasa nyaman bermalam untuk mengganti suasana hatinya dirumah adik lelakiku, yang dari istri keduanya menghadirkan cucu lelaki yang sangat pintar merayu dan membuat hati Ibuku selalu merasa senang dan riang gembira, sehingga Ibuku lupa, dengan udara yang menyengat dan debu yang banyak dibandingkan dengan tempat tinggalnya, yang sejuk dan tidak berdebu tapi selalu sunyi senyap membuat kesepian dan perlu suasana yang agak ceria dan meriah untuk dirinya, yang dahulu selalu dimanja dan dicintai oleh almarhum Ayahku.
Dirinya yang masih terlihat cantik diiringi ayunya “Wong Jowo” serta kelembutan dan keramahan yang sangat menonjol sering kali dilatar belakangi oleh kekerasan hatinya, apabila Ia menginginkan sesuatu, jangan ada yang mencoba untuk mengalihkan ataupun menghalangi maksudnya.
Kami anak anaknya sudah sangat hafal oleh sifatnya itu, dan memaklumi masa lalunya ketika masih ada Ayahku, Ibuku adalah Ratu dirumah, yang boleh melakukan apa saja tanpa ada yang menghalangi. Jika ada, silahkan hadapi kemarahan Ayahku.
Tidak heran, jikalau kami tujuh bersudara, lima lelaki dan dua perempuan, ditambah nenek dari pihak almarhum ayah dan kakek dari pihak Ibuku  serta empat pembantu rumah tangga, dirumah merasa betah dan nyaman tanpa musti ada sesuatu yang tidak beres ataupun menjadikan suatu masalah, dari mulai halaman yang ditumbuhi rumput hijau dan pohon Cemara yang berjajar hingga tembok pagar halaman belakang rumah, semua terlihat rapih dan bersih, asri mungkin kosakata jaman sekarang, bukan karena aku salah satu tukang kebonnya, yang suka menanam bunga ataupun umbian dan memelihara angsa, bebek, kelinci, ayam jago, juga burung dara kesayangan kakak diatas umurku, melainkan juga pengawasan dari Ibuku tanpa musti menggerutu, sehingga  menggambarkan kehidupan dirumah yang serba tenteram dan penuh keceriaan diserta bahagia yang sangat. Pada waktu itu kami sekeluarga mendiami rumah dinas dari perusahaan Pertamina, tidak begitu besar dan luas namun cukup untuk tidak berdesakan dan merasakan penat. Almarhum ayahku seorang Dokter Spesialis berpandangan luas dan menyerahkan seluruh dan sepenuhnya, sebuah mandat kepada Ibuku dalam urusan rumah tangga, karena hingga ia wafat tidak pernah kudengar gerutu atau ketidak puasan terhadap apa yang ada dirumah tempat tinggal kami. Sampai pernah kupikir, untuk membeli batu kerikil untuk jalan menuju ke garasi saja, Ibuku yang turun tangan dan menghubungi tukang, begitu juga yang lainnya. Yang membuat aku kagum adalah jarangnya Ibuku dirumah , karena almarhum Ayahku sangatlah manja dan tidak ingin pergi kemana mana tanpa didampingi Ibuku , dan ia masih saja sempat memanajemen atau mengorganisasikan serta mendelegasikan, begitulah kosakata akademis sekarang, untuk menyelenggarakan keperluan kehidupan sehari hari tanpa celaan yang berarti, seperti dari mulai uang saku sekolah hingga kaoskaki ataupun kaos dalam selalu tersedia ditempatnya, meskipun kadang kala juga para pembantu yang menyiapkan atau kena reguran ringan.
Kuingat istilah dari seorang sutradara terkenal, Steven Spielberg, yang mengatakan dalam salah satu interview pada sebuah Majalah, bahwa ”A House is not a Home without Family”.
Hidup Almarhum Ayahku dan Ibuku, pada waktu itu, sangat bahagia, karena mempunyai “Home Sweet Home”, dibandingkan dengan yang lainnya, yang membuat hanya kesan mewah diluarnya.
Dapat aku mengerti sifat Ibuku itu, karena bertahun tahun mendapat perlakuan yang sangat istimewa, baik serta penuh kasih sayang dan Cintakasih yang sangat menonjol, yang juga terlihat dan dapat dirasakan oleh anak anaknya, dari almarhum Ayahku. Kami tidak dapat menyalahkan Ayahku atas semua itu, sehingga Ibuku terlihat seperti sangat Otoriter.
Setibanya dikediaman kakak perempuanku, yaitu adik dibawah langsung kakak lelakiku yang pertama, keadaan Ibuku hampir seluruhnya tidak sadar diri, hanya dia mengingat dam minta tolong aku untuk mengambilkan atau mencarikan kipas kesayangannya, yaitu kipas yang terbuat dari sulaman bambu, yang biasa dipakai oleh tukang Sate dan dapat dibeli dipasar becek manapun.
Aku duduk termenung dan diam diteras depan, sambil menghisap dalam dalam rokok yang kutenggerkan dijemariku yang bergetar, karena tidak tahu apa yang harus kulakukan pada saat itu.
Kakak perempuanku menghampiriku seraya berkata dengan agak keras, menunjukkan betapa kesalnya dia:”gimana sih !, semuanya ! nggak bisa dibilangin, udah tau Mama nggak boleh terlalu cape. Udah dibilangin kalau diajak kemana mana kan bisa bilang enggak, tuh! liat ! sejak pulang dari rumah  adikmu yang jauh, Mama mulai lemah dan nggak mau pulang, terus kerumah mbakmu lagi. Mbak juga tau kalau Mama menghindar diperiksa medis lagi ! dan selalu bilang nggak apa apa, sehat!, udah gitu nggak mau minum obatnya lagi !, kalau udah begini, siapa yang susah? ! kamu juga kan !?”.
Aku diam dan merunduk, menghindar tatapan mata kakak perempuanku, dan tak satu patah katapun atau satu kalimatpun dapat kuucapkan. Kakakku melangkah untuk duduk disamping kursi yang kududuki, seraya menarik nafas, tanda ia kesal dan hampir putus asa. Kutahu kakakku yang satu ini sangat sayang sekali dan penuh perhatian kepada Ibuku, melebihi yang lainnya.
Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku mengucapkan:”Ma’af ya mbak, aku nggak tau samasekali ceritanya, aku kesana, terus Mama sakit, dan diminta untuk mengantar kesini, supaya nggak lebih sakit lagi, ya udah, aku anter kesini.”
“Mbakmu itu gimana sih !, bukannya dari kemarin dulu dianter kesini, eehhh… malah dibiarkan nginep, udah tau Mama suka susah disuruh periksa lagi dan musti diawasin minum obat tepat waktunya. Nanti kalau ada apa apa bisanya nyalahin Mama atau kita disini, kamu yang nggak tau apa apa, mau disalahin?, kan nggak!?, udah nggak bawa tabung Oxygen.Gimana sih semuanya!”, ucap kakakku datar dan berkesan lemas menghadapi semua itu, ”udah sekarang gini aja, mbak dan mas(suaminya, kakak iparku), mau pergi keundangan pesta pernikahan, undangannya udah lama diterima, cuman sebentar, nanti Mas telpon ke Klinik “Sarang Waras”, dan kamu anter kesana, pulangnya kita akan kesana!, Mas juga lagi kesel sama Mama yang susah dibilangin dan suka membandel kalau disuruh Check Up atau minum obat teratur!, mbak ganti pakaian dulu dan siap siap mau berangkat!.”, sambil beranjak dari tempat duduk terus masuk menuju kekamarnya. Aku masih diam dan tak berkutik sedikitpun.
Tergesa aku menuju ruang TV, ketempat kesenangan Ibuku untuk duduk bermalas malasan dan menikmati layar sebesar setengah dinding kamar anak bayi, untuk melihat keaadan Ibuku.
Kulihat matanya kosong dan hambar tanpa menatap sesuatu, dan duduknyapun setengah seperti ingin tidur. Kemana semua?, sunyi sepi dan seperti tidak ada sama sekali yang  menghuninya. Kuhampiri cepat Ibuku dan kusambar kipas sulam bambu itu, dan kukipaskan dimukanya agar dia merasa lebih sejuk daripada merasakan dinginnya AC yang distel pada strip satu itu. Matanya sempat melirik dan tidak berkata apa apa, sementara itu pandang matanya yang hambar dan wajah pucat pasi, menghilangkan senyumnya dan wajahnya yang masih terlihat goresan cantiknya masa lalu ketika ia masih muda. Semuanya sirna nyaris tak berbekas dengan keadaannya seperti itu.
Pintu itu sedikit berbunyi, ketika keponakanku, putra kakakku yang tinggal bersama istrinya dan anak perempuannya yang masih kecil dan sangat bertingkah laku lucu dan cantik itu, keluar dari kamarnya dengan membawa, senter kecil dan Stetoscope. Rupanya dia meninggalkan Ibuku sendirian untuk mengambil sebentar peralatan yang diperlukan, dan dengan hati hati dan penuh kesabaran serta ketekunan yang sangat. Keponakanku, yang Sarjana Kedokteran baru beberapa tahun lulus itu, memeriksa dari mulai kelopak mata hingga jari jemari kaki Ibuku, sambil sejenak mengerutkan keningnya, berpikir cepat untuk melanjutkan pemeriksaannya.
Dia berdiri, melepas Stetoscope dari kupingnya dan memasukkan senter kecil kesaku celananya seraya berkata:”Oom, ini musti cepat dibawa, sekarang juga, keKlinik “Sarang Waras”, tadi Bapak sudah memberi tahu disana supaya semua disiapkan dan juga kamar.”
Kutuntun Ibuku dan kurangkul erat menuju kendaraan yang telah kusiapkan didepan Pintu agar jalannya tidak begitu jauh.Kubuat tempat duduk Mobil itu senyaman mungkin seperti Kursi kursi malas, agar Ibuku bisa duduk setengah tiduran dan merasa nyaman, dan tidak kupasang anjuran Polantas “Safety Belt” itu supaya nafasnya tidak sesak dan tidak perlu melihat kejalan raya.
Ditengah perjalanan aku masih sempat berpikir omongan Ibuku mengenai ponakanku yang baru saja memeriksa dirinya. ”Kelihatannya orangnya memang Acuh dan gaya bicaranya agak sering menjengkelkan, tapi dia itu orangnya Attent !(istilah Ibuku untuk sebutan perhatian) ke Mama, dan kalau ada yang Mama perlukan, dia dulu yang selalu bertanya, apakah perlu dia yang mengusahakan, contohnya kalau Mama lagi nggak enak badan dan perlu obat ringan untuk diambilkan dilemari, karena Mama nggak tau musti ambil obat yang mana, kadang dia sudah menyediakan disamping tempat tidur Mama.”. 
Sedangkan Ibunya sangat jarang marah dan selalu kelihatan menunjukkan kesan kesabaran yang berlebihan kepada semua seisi rumah, terlebih perhatian dan kasih sayang kepada Ibuku yang sangat memerlukan itu, karena ada semacam pepatah yang mengatakan ”Semakin tua manusia, tingkah lakunya kembali menjadi anak anak lagi”, dan itu memerlukan kesabaran dan perhatian yang sangat sekali.
Bapaknya, kakak iparku, adalah bekas Rekto salah satu Universitas Negeri dan menambah titelnya “Haji”, juga hampir sama perilakunya kepada Ibuku, bahkan sangat memanjakannya.
Apabila aku menjadi seorang Presiden, akan kusematkan tanda bintang jasa MahaPutra kelas Satu, menjadi pandu Ibuku, kedadanya yang bidang, kakak iparku.

Di Klinik “Sarang Waras”  
Kuhentikan Mobil tepat dipintu masuk Klinik, dan terlihat Satpam dan petugas Klinik bergegas sambil mendorong Kursi roda menuju pintu untuk membantu Ibuku turun dari kendaraan dan langsung menuju kamar yang telah disediakan, dan tidak diperlukan mendaftar atau bertanya siapa nama Ibuku, karena beliau sudah dikenal disana dan seringkali memeriksakan keadaan kesehatannya disana dan mengenal banyak perawat serta petugas Medis lainnya yang berjaga duapuluhempat jam di Klinik itu.
Setelah kuparkir mobil ditempatnya, langkahku cepat menuju kekamar inap untuk segera menemani Ibuku disana.
Kekurang ajaranku timbul kembali, memaklumi diriku satu satunya dari tujuh bersaudara yang masih berstatus bujang, dan dalam keadan darurat seperti itu, masih sempat berpikir, mudah mudah an perawat yang cantik itu bertugas malam dan dapat kulihat senyumnya serta figurnya yang lumayan sexy itu, yang ternyata dia tidak bertugas dimalam itu. siaal!, pikirku.
Kulihat jam didinding menunjukkan pukul sembilan waktu Indonesia bagian barat, dan suasana sunyi senyap nyaris hening membuat hatiku semakin gelisah.
Setelah perawat bersama tim Medis dan juga seorang Dokter selama setengah jam lebih memeriksa keadan kesehatan Ibuku, aku diperbolehkan masuk kekamar dan juga melihat keadaannya. Kulihat Ibuku tidur dikelilingi selang seliweran disampingnya, dari tabung Oxygen dan peralatan Transfusi dengan botol plastik yang tergantung gantung tanpa gerak, menghias tempat tidur tanpa kutahu kegunaannya.
Wajahnya yang pucat dan badannya yang tertutup selimut tebal itu, terlihat tenang, meskipun aku diberi tahu kalau ia dalam keadan tidak sadar dan perlu istirahat. Kadang kala kudengar dan kuhampiri, seakan akan ia ingin mengucap sesuatu, atau bunyi tempat tidur, karena tangan atau kakinya tersentak akan tetapi tidak terlihat kalau kejang.
Diberi tahu apabila ada sesuatu yang janggal agar menekan tombol agar perawat atau petugas medis akan segera menuju kekamar. Aku ingin sekali menekan, untuk upaya berkenalan dengan perawat yang wajahnya lumayan dan figur yang juga tidak jauh dari sebutan sexy, karena ada kejanggalan, yaitu malam semakin larut dan apabila ada wanita yang menemani diriku, mimpi disiang bolong itu segera lenyap, tapi kuurungi niatku itu, pertanda kalau diriku belum benar benar keterlaluan atau kurang ajar, pada suasana yang begitu, masih memikirkan hal yang tidak sepantasnya.
Ketukan pintu terdengar, kakak perempuanku yang mengundang tadi pagi itu, datang bersama anaknya dan menantunya, suaminya sedang tidak enak badan, membawakan makan malam serta majalah untukku agar aku tidak kesepian seorang diri menemani Ibuku. Kuberi tahu keadaan Ibuku dan kusarankan untuk melepas segala perhiasan yang masih melekat ditubuh Ibuku, karena ada rencana, pagi sekali akan dimandikan dahulu, setelah itu akan dibawa kebagian Radiologi dan bagian pemeriksaan lainnya untuk ditindak lanjutkan pemeriksaan pada malam itu.
Tidak lama kemudian datang, kakak perempuan bersama suaminya, yang baru saja memenuhi acara undangan pernikahan, untuk juga mengetahui keadaan Ibuku yang masih belum siuman, dan segera memanggil perawat untuk melihat kartu status dan pemeriksaan ulang yang singkat agar diketahui apa yang musti dilakukan pada waktu berikutnya. Dengan penuh perhatian perawat yang berbadan mungil tapi berwajah manis itu, mendengarkan kakak iparku, mengenai hal apa yang musti diperhatikan untuk selalu berjaga dan lebih sering melihat keadaan mertuanya.
Sejenak tak ada suara diruangan itu. Sepi, hening, dan sedikit terasa mencekam.Kulihat wajah kakak kakak perempuanku yang berkesan sedih sesal dan amat prihatin. Diremas remasnya jari jemari Ibuku seraya memandang kewajah Ibuku yang tak perduli akan hal itu, karena Ia tidak sadar diri. Kadang menengok kearahku seolah aku penyebabnya atau malu seakan mereka kembali menjadi gadis gadis manja yang cantik lagi. Suaminya memberi isyarat untuk meninggalkan ruangan seraya memgelus punggung dan pundak kakakku dengan penuh mesra tanda kasih sayang mereka, dan juga memberikan kekuatan bathin agar tidak sangat ketakutan akan terjadi hal yang tak terduga. Ibuku akan sehat dan baik baik saja.
Setelah kakakku menoleh sebentar kearah suaminya, dia beranjak dan mengerti apa yang dimaksud serta begegas untuk bersiap siap berpamitan pada semua yang hadir diruangan.
Setelah semuanya berpamitan, kini aku sendiri lagi diruangan itu dengan suhu yang terpasang sangat dingin dari pengatur udara itu, membuat rasa takutku akan hantu menjadi bertambah,karena suasana begitu senyap dan bau dari zat kimia yang menyengat.
Kuatur suhu udara ruangan agar tidak begitu terlalu dingin yang apabila terlalu dingin, akan membuat suasana hatiku semakin mencekam dan menambah rasa takutku, selain itu udara yang dingin menyebabkan aku susah tidur.
Sebetulnya aku tidak menyukai berita atau tidak terlalu maniak dengan menyimak Koran yang aku sendiri tidak tahu apakah berita itu betul atau tidak, karena dalam sistim informasi modern bisa jadi data informasi autentis dikemas sedemikian rupa agar dapat menjadi sesuatu yang dapat menarik pembaca seperti sajian makanan lezat disebuah restoran yang dimasak dengan cermat dan ramuannya.
Sebentar kulirik kearah Ibuku yang berbaring terlentang dengan tarikan nafas yang berat dan tersendat sendat, sebelum aku menuju kemeja makan kecil disudut ruangan untuk melihat bingkisan yang dibawakan oleh kakak perempuanku dan yang disediakan oleh Klinik untuk santap malam.
Usai Sholat tak lupa aku berdo’a untuk kesembuhan Ibuku dan mengharapkan cepat sembuh agar bisa berjalan jalan bersamaku atau mentraktir ke rumah makan dan menikmati hidangan kesenanganya bersamaku, atau menemani pergi berbelanja kemanapun Ia mau. Maklum aku satu satunya yang belum berkeluarga dan mempunyai waktu untuk itu.
Mungkin juga aku berpikir atas kesalahanku kepada dia, karena kadang kala aku membuat atau sebaliknya saling berbuat suatu yang menjengkelkan tanpa sengaja, tapi sebagai anak sebaiknya aku musti mengalah dan berusaha agar dia tidak kesal terhadap diriku yang nantinya bisa membuatnya tambah susah.
Sering kali aku ditegur oleh kakak perempuanku atau adik dan kakakku agar aku musti sabar menghadapi Ibuku agar dia selalu merasa senang dan gembira, dan dengan begitu bisa membuatnya sehat selalu dan tidak gampang terserang penyakit yang nyaris kronis yang terdapat pada setiap wanita diatas umur 75 tahun keatas.
Setelah terjadi selisih paham atau pertengkaran kecil, kadang kala aku berpikir seperti anak kecil saja, dan menyesali sifatku yang keras yang disebut orang sebagai membatu. Padahal Ibuku sering menilai diriku sebagai orang yang tenang, kalem, dalam bahasa Jawa “Adem Ayem”, dan tidak banyak bicara alias pendiam. Tetapi begitu ada sulutan terlihatlah sifatku yang keras dan menurutnya selalu menjengkelkan. Mungkin juga atas dasar itu semua Ibuku merasa maklum kenapa aku satu satunya yang bertahan membujang dan betah hidup sendiri. Pernah Ibuku dan kakak perempuanku bergurau mengatakan kalau mereka tidak dapat membayangkan musti sesabar apa pendamping hidupku, bagaimana menghadapi tingkah lakuku yang kadang menyebalkan, dan mereka berdua tertawa geli terbahak bahak.
Kuingat kesalahanku terhadap Ibuku dan hal yang membuatnya susah serta jengkel alias ngeselin, dan berharap agar jika ia sehat kembali aku dapat merubah sikapku agar membuatnya senang dan tidak memjadikan penyesalan kepada diri sendiri. Sebagai anak pada umumnya pasti pernah bertanya kepada dirinya, sudahkah aku membuat Ibu senang dan membalas segala kasih sayang Ibu terhadap anak?. Meskipun jawabannya pasti bahwa seorang anak tidak dapat membalas semua kasih sayang Ibu seutuhnya seperti Ibu memberikan semua itu kepada anaknya, apakah salah? kalau kita mencoba berpikir sejenak dan berusaha sedapat mungkin memenuhi tuntutan hati nurani sendiri?.
Renungan ku menjadi terhenti, ketika pintu terbuka dan seorang perawat masuk perlahan lahan. Setelah memeriksa Ibuku, Ia segera meninggalkan kamar tanpa basa basi sedikitpun dengan raut wajah yang menunjukkan suatu perubahan keadaan Ibuku.
Suara adzan subuh membangunkan aku dari tidurku yang baru saja terlelap. Usai Sholat aku perlahan lahan keluar dari kamar untuk menuju ke beranda Klinik untuk menyulut rokok dan meneguk kopi dari warung dekat Klinik, seraya memikirkan apa yang dapat kulakukan untuk mengatasi keadaan seperti ini selain do’a dalam sholatku.Aku bergegas kembali kekamar.
Jantungku menjadi berdebar keras ketika kuliha empat perawat berada disamping tempat tidur Ibuku. Mereka memeriksa dengan dengan teliti dan hati hati dan satu persatu secara perlahan lahan menandakan perlu ketelitian yang sangat agar tidak salah diagnosa pada kartu status yang mereka bawa. Setelah itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk membalikan tubuh Ibuku untuk dibasuh sebelum sarapan pagi. Mereka saling berpandangan karena tidak berhasil melakukan itu, disebabkan karena Ibuku semakin tidak sadar dan menjadikan tubuhnya tidak lentur untuk dibasuh dan dibersihkan sekedarnya. Kulihat wajah mereka yang tegang sambil melihat infuse yang bergoyang bergantung itu.Salah satu dari mereka bergegas keluar dari kamar, yang kutahu setelah itu Ia memanggil dokter jaga untuk melihat keadaan Ibuku dan juga menelpon kekakak iparku, yang juga spesialis Internist, sesuai pesannya agar selalu memberi kabar mengenai keadaan Ibuku.
Keputusan akhir Ibuku musti dipindah ke RSCM dan cepat menuju ke ICU agar cepat ditangani.
Ditemani seorang perawat aku berada didalam Ambulance memegangi botol infuse dengan pikiran yang sangat tidak menentu. Aku sempat mengeluarkan airmata melihat keadaan Ibuku dan sangat prihatin seraya berdo’a agar tidak memburuk keadaannya. Tiba tiba, mungkin dikarenakan goncangan Ambulance yang keras karena kecepatan agak tinggi agak keras, Ibuku terbangun dan ingin melihat kejendela, kutahu ia ingin bertanya dimana dia berada, seraya meronta ronta tanda ia tidak ingin dibawa kemana mana, setelah kupeluk keras karena tenaganya seperti sangat kuat tak terkendali, kemudian tidak sadar kembali. Kulihat wajah perawat sangat terheran heran, apalagi ketika melihat aku menangis sedih. Akan tetapi ada kenangan manis diantara semua kejadian itu. Dalam keadan duduk yang sangat rapat itu, ia sempat bertanya apakah aku anak kandungnya, dan dia sempat tahu kalau aku satu satunya bujang dari anak Ibuku, dan dia memegangi bantal Ibuku dan lengan, menahan goncangan dengan kasih sayang seakan itu Ibunya sendiri, dan kutahu persis kalau bantal dan selimut itu dari tempat tidur Ibuku yang tanpa izin dibawa kedalam Ambulance. Aku sangat terkesan, apalagi wajah dan posturnya lumayan, alias tidak dapat dikatakan jauh dari standard yang ada, terlebih wajahnya yang dari samping hampir terutup jilbab yang dikenakan. Dan tubuhnya yang harum lagi!

UGD(Unit Gawat Darurat) RSCM
Ibuku berbaring setengah duduk sambil kupegangi erat erat agar tidak tiba tiba terjatuh karena sering secara tidak sadar meronta ronta. Bau yang tidak sedap diruangan dan banyak orang mengerang dan berteriak kesakitan dalam ruangan, hilir mudiknya perawat dan dokter berwajah dingin dengan raut muka tegang, semakin menambah suasana menjadi lebih mencekam serta menegangkan.
Lebih dari 2 Jam aku berada diruangan menunggu keputusan hasil pemeriksaan medis dan tempat di ICU serta giliran untuk dapat di Scan di salah satu bagian Rumah Sakit itu.
Kadang Ibuku setengah siuman tanpa bias berbicara dan meronta ronta kemudian tak sadar lagi, membuat perawat dan dokter disana seakan kebingungan menghadapi keadaan itu. Tubuh Ibuku terikat dengan tempat tidur beroda itu, dan mulai dipisahkan dari pasien pasien yang lain yang mengerang dan berteriak kesakitan kepojok jauh diruangan itu. Aku sampai lupa berdo’a dan memusatkan perhatian ke pada keadaan itu, tidak tahu kenapa aku sangat sedih seraya berkali kali menitikkan air mata hamper terisak tanpa perduli sekelilingku, dan tanpa kusadari kupeluk Ibuku berkali kali, seakan aku ingin membangunkan dan mengajak jalan jalan seperti Ia dalam keadaan sehat.
Aku baru pertama kali berada di UGD dan mungkin perkiraanku tidak dapat disalahkan, apabila ternyata melesat.
Dengan adanya ponakan perempuan dan suaminya, dan seorang ponakan lelaki yang kebetulan bertugas menjadi Dokter jaga disana serta kakak iparku yang senior Dokter spesialis Internist disana, dan juga almarhun ayahku yang puluhan tahun bertugas sebagai dokter disana dan banyak yang masih kenal dengan Ibuku dan kenalan disana, kukira dengan semua itu akan dapat fasilitas atau prioritas atau dinamaka hak istimewa untuk lebih cepat dapat hasil pemeriksaan medis serta tempat di ICU, ternyata tidak.
Aku sempat berpikir dan membayangkan bagaimana kalau pasien yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apa apa dengan rumah sakit itu.
Aku jadi mengetahui di UGD tidak ada semacam hak istimewa atau privileg, alias tidak pandang bulu, semua ditangani sama sesuai dengan proses atau prosedur yang berlaku.
Dengan waktu yang lama menunggu itu aku ketakutan keadaan semakin parah sebelum dimasukkan ke ruang ICU.
Hanya aku sangat beruntung, ketika pada detik detik terakhir sekelompok tim Dokter muda yang handal seumuran ponakanku dapat didatangkan untuk menangani Ibuku, untuk dibawa keruangan ICU.

RUANG ICU(Intensive Care Unit)
Ruang itu tertutup rapat untuk pengunjung, dan tidak seorangpun dapat melihat atau melongok kedalam ruangan selama pemeriksaan berlangsung. Dengan modal kenakalan pada masa kecil, aku sempat menyelinap serta melongok sejenak kedalam ruangan, ketika perawat dan para medis menghentikan rombongan pendorong tempat tidur beroda didepan pintu masuk ruang ICU.
Peralatan alias Instrument kedokteran yang berada didalam ruang yang kuterka pasti steril itu, kulihat sekilas sangat modern dan memadai dengan angka dan huruf digital pada layer kecil, dan pasti semua sudah Computerized, mengingatkanku pada film persiapan Astronout sebelum diperbolehkan menaiki Challenger atau pada zaman Apollo dahulu. Hatiku menjadi tenteram melihat semua itu dan bergegas keluar, seraya berpikir dan berharap, dengan adanya Instrument secanggih dan Tim dokter yang handal itu, Ibuku dapat segera kembali sehat seperti sedia kala.
Aku, kakak lakiku dan istri, keluarga kakak kakak perempuanku, dan kemudian menyusul adik lakiku dan istrinya serta anak lakinya yang masih kecil tapi gendut, berada di gang koridor didepan ruang ICU dengan keadaan seperti para penderita bisu dan tuli serta raut raut muka yang hampa, dengan perasaan galau dan cemas menunggu hasil pemeriksaan itu, dan “Waktu” seperti tidak mau bersahabat denganku, berjalan sangat lamban dan malas.
Belum sampai 1 Jam, kudengar nama Ibuku disebut di Loudspeaker yang tidak enak didengar dan ketinggalan zaman itu, agar salah satu dari kami mewakili keluarga masuk kedalam ruangan untuk menemui salah satu dokter dari tim dokter disana.
“Mama musti dibawa ke bagian CTScan !”, berkata kakak iparku dengan suara datar dan berwajah dingin, sementara kami semua sudah seperti para wartawan menunggu berita, tidak sabar dan ingin tahu.

CTScan
  Karena aku bujangan aku tiba disana beserta perawat yang mendorong tempat tidur beroda lebih awal, dan tidak lama kemudian Ibuku yang belum juga siuman, mendapat giliran masuk untuk menjalankan pemeriksaan.
Kejadian pada kami seperti didepan ruang ICU lagi, kembali menanti kabar berita hasil pemeriksaan yang lebih lengkap akan keadaan Ibuku.
Dengan langkah tergesa dan raut wajah yang dingin, seraya kami menatap semua kearahnya, kakak iparku memberi isyarat kepada kakak lakiku yang berada didekatnya dan putranya, yang juga dokter, untuk mendekat serta mendengarkan hasil sementara. Mereka bertiga hampir tak terdengar dan nyaris berbisik bisik, dan kami semua tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.Dugaanku adalah suatu yang buruk akan terjadi. Betul juga, mereka mendekat kepada kami yang sudah tidak sabar menantikan hasil dari pemeriksaan itu. ”Kemungkinan besar, harapan sangat kecil sekali untuk sembuh, sebaiknya kita berdo’a saja dan berharap saja agar bisa sembuh!”, berkata kakak iparku datar dan diam sejenak sebelum melanjutkan pembicaraan kepada yang hadir disana. Dari semua yang kudengar, berarti Ibuku tidak ada harapan untuk hidup. Meskipun itu semua hanya perkiraan sementara untuk melihat situasi yang seburuk buruknya.Dalam hati aku sempat mengucap “Inna Llillahi Wa inna Illaihi Rajji’un”, dan kutabahkan hatiku untuk menerima kenyataan itu, meskipun pikiranku sangat menjadi tak menentu. Hanya satu keyakinan dari dasar hati nuraniku, aku belum dapat menerima kenyataan itu dan berusaha berdo’a disertai harapan agar suatu yang buruk dapat dihindarkan oleh kuasaNya.
Kakak lakiku, yang lebih tabah dan kelihatan lebih tawakal akan semua itu, bersiap siap untuk menandatangani surat Pernyataan yang diterima dari bagian RSCM itu, untuk menyetujui segala prosedur serta semua ketentuan yang ada pada isi surat itu. Setelah selesai, ia mendekat padaku untuk menuju kesamping gedung agar tidak terlihat orang, untuk minum Aqua gelas dan merokok, dan membuka pembicaraan untuk menerangkan keadaan sebenarnya.
Ibuku ternyata sudah lama menderita penyakit itu, dan serangan penyakit itu adalah yang terakhir kali ini, pendek kata Ibuku terserang Kanker ganas yang sudah sangat mencapai titik maximalnya. Dan dengan nada sedih tetapi dipaksakan memperlihatkan ketabahan pada adiknya, dia menerangkan, apabila Ibuku hidup, beliau musti terus berada di rumah sakit dengan keadaan lumpuh total dan tidak sadar alias koma, dan segalanya diatur oleh Instrument automatis untuk tetap bernafas dan mengatur detak jantungnya.
Ya Allah!, sempat kuucapkan pelan tanpa sadar, dan dalam hatiku aku mengadu kepadaNya, cobaan apa ini?, didalam bahasa yang sok akademis mungkin dinamakan situasi dilemmatis yang tak dapat dengan mudah untuk diselesaikan atau mengambil keputusan yang tepat dan optimis benar, juga dalam bahasa legenda sehari hari seperti dinamakan buah Simalakama.     
Aku diam sejenak untuk dapat memusatkan pikiran untuk menjadi supaya agak tenang, dan berkhayal atau berimajinasi, seolah olah aku dapat berbicara pada Ibuku yang sedang berbaring dengan keadan tidak sadar
dibawah mesin pendektesi, dan bertanya apakah ia ingin sembuh dan kuat bertahan hidup?, mungkin juga aku sendiri dalam hati yang menjawab “Ya!”.
Hatiku sedikit tenang dan tidak lagi lagi gelisah serta ketakutan seperti mendengar petir yang menggelegar disiang hari panas terik yang bolong, ketika pertama kali mendengar hasil pemeriksaan itu. Kutarik nafasku dalam dalam dan menyadari tidak enaknya jadi orang tidak mempunyai uang dan menyalahkan diri sendiri, kenapa aku tidak pernah bercita cita menjadi orang yang sangat kaya sehingga dapat kubeli rumah sakit ini, agar jika Ibuku musti berbaring bertahun tahun dalam keadaan koma dan lumpuh total, aku masih dapat melihat dan berharap untuk hidup dan sembuh dari penyakitnya. Seperti anak kecil aku berpikir, tak perlu berpikir berapa biaya materi dan oril yang musti dikeluarkan, pokoknya hidup dan sembuh agar sehat kembali!.
Kakakku mengerti mengapa aku diam dan mengepulkan asap rokok seperti kereta api tua.
Setelah beberapa menit aku tersadar dan mengucap dalam hati bawah sadar, ”Aku berpasrah diri kepadamu ya Allah!, apapun yang akan terjadi!”.
Aku tersentak agak sedikit kaget ketika dipanggil untuk berkumpul membicarakan rencana persiapan pemakaman secara mendetail, dari mulai dibawa kemana, apakah dititipkan dikamar Mayat dan setelah itu sampai detail terakhir pemakamannya. Semuanya, secara garis besarnya sudah dapat tugas masing masing untuk itu.
Kembali kakak iparku bergegas masuk kedalam ruangan seakan dia lupa akan sesuatu atau ada yang tertinggal didalam ruangan itu, tanpa berkata sepatah katapun.
Sepertinya ada sesuatu yang terjadi terjadi ketika kakak iparku dengan raut muka yang tidak begitu tegang dan dingin berkata:”Mama, dibawa ke ICU lagi!”, dan kami semua agak heran, dan tak lama kemudian perawat bersama Ibuku diatas tempat tidur beroda keluar dari ruangan, aku bergegas ikut , seraya tak lupa tersenyum kepada perawat yang terayu yang ikut mendorong disampingku. Akupun mendorong itu dengan penuh semangat. 
Kulihat wajah Ibuku begitu pucat tanpa reaksi terhadap apapun, dan seakan dalam keadaan tidur akan tetapi tidak nyenyak, se-sekali badannya menghentak tanpa kulihat sebabnya.

Kembali di ICU
Masing masing dari kami yang menunggu di lorong gang didepan bagian ICU hanya mampu berdiam diri dan seakan mengheningkan cipta dengan pikiran yang menerawang ntah kemana.Suasana begitu sunyi meskipun tidak terlalu mencekam ataupun perasaan takut yang membebani kami. Aku yakin pada saat itu yang ada dalam perasaan masing masing juga seperti diriku, pasrah kepada penguasa Langit dan Bumi, Ya Allah !, apapun yang akan terjadi dan dengan segala keputusanNya, akan kami terima dengan tawakal dan tabah.
Apabila Loudspeaker yang tidak enak didengar itu memanggil Nama seseorang, kami selalu memasang kuping dan menyimak dengan seksama. Aku berharap nama Ibuku tidak disebut, sebagai tanda ia dalam keadaan tidak darurat dan dalam pengawasan Medis yang Ketat dan Akurat. Ada beberapa Nama keluarga pasien yang dipanggil dengan berita telah meninggal dunia dan Wafat didalam ICU, membuat hatiku tambah galau dan cemas.
Sosok tubuh berpakaian putih tertutup seragam warna biru muda dan penutup hidung serta mulutnya itu, keluar dari pintu depan ICU menengok kearah rombongan kami, yang mungkin sudah saling mengenal wajah kakak perempuanku, dikarenakan suaminya sebagai Doktor Dokter Spesialis Senior yang pernah bertugas lama disana, dan dengan raut wajah yang ingin menyampaikan sesuatu yang tidak terlihat kabar yang tidak baik.Setelah membuka penutup itu, ia berbicara dengan perlahan dan sopan sekali, seraya tangannya menyerahkan secarik kertas, yang kuhafal dari bentuknya pasti sebuah resep Obat. Hatiku sedikit lega melihat kejadian itu, karena berarti Ibuku didalam sana masih ada reaksi dan harapan untuk dirawat lebih lanjut.
Setelah satu hari penuh aku tidur di lorong gang didepan ICU dan tidak dapat melihat Ibuku yang berada didalam sana, pada sore harinya, setelah sanak keluargaku tiba, kami mendapatkan kesempatan menuju ruangan kecil yang terletak masih di bagian ICU itu.Setelah kain Gordijn dibuka, dari kaca yang lebar kami dapat melihat dari kejauhan tubuh dan sedikit wajah Ibuku, yang masih berbaring diatas tempat tidur besi yang sangat berpenampilan salah satu bagian dari Instrument lainnya yang modern, dan belum siuman juga.
Tiga hari telah berlalu, dan kami diperbolehkan satu persatu masuk kedalam ruangan, yang sebelumnya diinstruksikan untuk membersihkan diri dan mengenakan seperti mantel warna biru muda lengkap dengan penutup hidung dan mulut agar steril, untuk dapat melihat atau mendekat ke Ibuku. Allhamdullillah ! Ibuku sudah siuman akan tetapi belum dapat berbicara, hanya matanya memandang serta berkedip apabila aku menyapa atau berbicara sesuatu dan ia memberi isyarat dengan itu, pertanda mengerti.
Seminggu setelah itu sudah berlalu, keadaanku yang menunggu diluar dan tak pernah pulang sedikit mengalami badan dan mental terasa lelah dan penat, serta keadaan Ibuku yang belum membaik, kulihat dari layar Instrument yang berada di ujung tempat tidur dan terletak dibelakang dan disamping atas kepala Ibuku, ketika sore hari waktu jam besuk kami dapat melihat dari kaca diruangan yang disediakan untuk pengunjung.
Setelah hilir mudik di Rumah Sakit untuk keperluan resep dan mengambil hasil laporan dari Laboratorium, hampir aku jenuh untuk berdo’a pada Sholat Isya pada malam hari di Musholla kecil tapi sangat asri dan bersih terpisah oleh gang disamping Apotek 24 jam dan dibelakang salah satu Laboratorium itu, untuk memanjatkan do’a kesembuhan Ibuku yang keadaannya tak membaik juga.
Aku memang bukan seorang yang sangat religius untuk selalu ta’at, akan tetapi aku berusaha sedapat mungkin untuk menjauhi larangannya. Dengarkanlah Ya Allah ! segala do’aku dan permintaanku !, begitulah kata hatiku, yang kadang kusadari terlalu tidak diselimuti kesabaran, dan selalu ingin cepat dikabuli dan didengar segala permintaaku.
Aku menangis terisak isak seperti anak kecil, ketika setelah lebih dari seminggu melihat Ibuku dari jendela kaca itu, berbaring dengan dengan penuh semacam selang yang seliweran diatas tubuhnya dan seakan penuh lilitan selang selang kecil dan juga yang menutupi wajahnya serta hidungnya. Aku tidak tega melihat semua itu. Wajah Ibuku yang cantik dan senyum yang ramah pudar menjadi sosok seperti monster dalam film horror yang sangat seram. Belum habis aku bersedih dan menghapus airmata isak tangisku, salah satu dari tim Dokter memanggil wakil dari sanak keluargaku untuk mendapatkan keterangan mengenai keadaan Ibuku.
Sanak keluargaku diberikan kabar, bahwa Ibuku tidak dapat bernafas melalui hidung dan tenggorokan dan musti melalui selang yang dibantu dengan alat pernafasan Automatis yang akan dipasang dan entah dilobangi dibagian tubuhnya yang mana.
Aku tidak dapat membayangkan bagaimana kelanjutannya dengan semua itu untuk kesembuhan Ibuku, apakah keadaannya tambah buruk atau bisa membaik dengan semua itu ?. Yang tahu tentunya Tim Dokter Ahli yang menangani dan mengetahui segala tindakan Medis untuk kesembuhan Ibuku atau meringani sakit yang dideritanya.
Hari demi hari dibulan suci Ramadhan telah kulalui dengan mulus disana, dan menikmati sahur dan buka dari kiriman sanak saudaraku yang menjenguk disore hari, dan selalu membawakan makanan kecil untuk kunikmati setelah Sholat Tarawih seorang diri.
Yang membuat aku tidak betah ialah hanya karena aku perokok berat yang musti mencari tempat jauh tidak terlihat orang untuk merokok dan tidak dapat waktu yang lama untuk meninggalkan lorong gang didepan ICU itu, karena aku musti selalu dekat dari Ibuku yang didalam sana, yang sering siang ataupun malam dan juga larut malam, juga dini hari,  perawat menyodorkan resep untuk diambil dan pergi ke Laboratorium untuk mendapatkan hasilnya di dalam lingkungan RSCM.
Setiap kali aku ada kesempatan melihat memlalui jendela kaca, aku memperhatikan layar dan panel berangka dan berhuruf digital itu, dan semua tidak menunjukkan perubahan apapun.Itu berarti keadaannya belum berubah sama sekali, dan pernah angka angka itu menunjukkan suatu keadaan yang sangat mengawatirkan. Aku tahu karena aku kadang mencatat sedapat mungkin dan minta diberitahu keadaan kritis menunjukkan pada angka angka yang bagaimana, supaya aku dapat cepat bereaksi dan memberi tahu kepada sanak saudaraku dirunah nasing masing.
Sisa airmataku mungkin sudah habis, ketika aku diperbolehkan mendekat ke Ibuku dan berdiri disamping tempat tidurnya.Keadaannya sangat menyedihkan dengan segala selang dan lilitan selang kecil yang mengelilingi Ibuku, dan belum lagi botol botol infuse yang bergelantungan bisu disamping Kiri dan kanannya, dan wajahnya yang tertutup setengahnya oleh semacam selang Oxygen pembantu saluran pernafasan buatan itu.
Ya Allah ! aku betul betul tidak tega dan sangat iba pada Ibuku yang musti terbaring dengan keadaan begitu.
Kucoba menyentuh tangannya dibawah selimut tebal dan kudekatkan wajahku kedekat telinganya, aku tidak tahan dan kembali terisak pelan dan kecil. Kubisikkan agar ia cepat sembuh dan aku meminta ma’af serta mohon ampun apabila aku pernah diwaktu lalu menyakiti hatinya dan membuat susah pikirannya serta membebani hidupnya, serta berharap agar ia tabah dan kuat menghadapi semua itu. Tidak lupa aku bisikan juga, aku ingin ia hidup dan aku yakin ia akan kuat bertahan dengan sisa kesehatannya. Aku kenal daya tahan Ibuku yang pada waktu sehat, Ia tidak pernah mengenal lelah didalam mengurus anak anaknya hingga beranjak dewasa dan mandiri.
Tiba tiba Ia membuka matanya dan sedikit berkedip sebagai tanda ia mengerti dan seakan menerima permintaan ma’afku.
Diluar ruang ICU aku merenung keheranan seakan baru sadar dari sebuah mimpi, bagaimana mungkin Ibuku yang tidak sadar seperti dalam keadaan koma, bisa mendengar suaraku yang perlahan dan berbisik itu? Apakah hanya sugesti atau ada suatu tanpa disadari manusia, adanya hubungan bathin yang dekat antara anak dan Ibu, apabila seorang anak bermaksud baik dan menyayangi serta sangat menghormati Ibunya?.
Aku tidak mengingat secara pasti, dan jikalau aku tidak salah ingat, aku pernah mendengar sebuah Khotbah pada waktu Sholat Sunnah berjamaah dihari Jum’at, bahwa bulan suci Ramadhan ialah miliknya Allah sepenuhnya dan penuh kemuliaan serta berkat bagi ummatnya. Para Malaikat senantiasa lebih intensive mengawasi perilaku manusia melebihi bulan biasanya dan Allahlah yang langsung melihat dan melindungi ummatnya.
Mungkin itu mengingatkan padaku dan memberi jalan keluar dari segala keluh kesahku selama ini dan berarti Allah akan mendengfarkan permohonanku secara langsung dan melindungi diriku, yang pasti juga Ibuku, yang telah menjalani rukun Islam, yaitu pergi naik Haji, Umroh dan pada Musim Haji beserta kakak perempuanku yang kedua dan suami kakakku itu.
Hari dan waktu terus berlalu tanpa ada suatu perubahan yang berarti, hanya saja keadaan dan suasana tidak menunjukkan kabar yang dapat membuat lebih gundah dan gelisah serta kecemasan yang sangat.
Tim Dokter yang handal dan segenap perawat didalam ICU berkerja siang dan malam untuk mengawasi keadaan Ibuku dan juga pasien disana yang memerlukan perawatan secara intensive.
Malam itu setelah Sholat Tarawih aku merenung sendiri di Lorong gang itu, pikiranku jauh menerawang kedalam keadaan yang tidak pasti ini dan hari hari serta waktu yang berjalan seakan lamban dan malas itu, dan do’a yang selalu kupanjatkan tidak juga menjadikan keadaan menjadi lebih baik.
Aku tidak tahu pasti keadaan badanku dan mental serta perasaanku pada saat itu, yang kutahu ialah aku dapat mengendalikan pikiran dan perasaanku setenang mungkin agar dapat dengan tabah dan tawakal menghadapi keadaan dan semua kenyataan ini tanpa henti hentinya berdo’a terus dan mengharapkan sesuatu yang dapat merubah keadaan lebih baik lagi.
Aku tidak tahu mengapa malam itu aku begitu tenang dan mempunyai perasaan yang sangat tenteram dibandingkan dengan hari dan waktu sebelumnya. Mungkinkah perasaan tenang dan tenteram itu dikarenakan isyarat yang diberikan Ibuku, kalau ia seolah berkata mengampuni kesalahan2ku dan memberikan ma’af padaku?, atau apakah karena permintaanku untuk tetap dapat bertahan dengan sisa kesehatan untuk tetap mempunyai keinginan sehat kembali serta tabah dan tawakal menghadapi keadaan semua ini?.
Aku bangkit dari duduk dan perlahan lahan kulangkahkan kakiku menuju Musholla di lantai dasar yang agak sedikit jauh dan harus melalui lorong dan gang untuk hilir mudik pengunjung RSCM yang terkadang gelap karena lampunya belum sempat diganti dan diterangi kelap kelip lampu reklame atau lampu penunjuk jalan dan bagian bagian dari Rumah Sakit yang terletak biasanya pada ujung dari bagian lorong atau gang yang lain.
Aku yang biasanya sedikit takut akan kegelapan dan cerita hantu Rumah Sakit, sekali itu tidak terasa apa apa, seakan terhipnotis akan keinginanku yang begitu dalam pada dasar hati nuraniku.Aku ingin memanjatkan do’a untuk kesembuhan Ibuku.
Suasana sangat hening didalam Musholla itu, tidak ada seorangpun, dan juga tidak ada orang yang biasanya kita lihat tidur didalam Musholla lainnya pada malam hari, meskipun tidak ada yang menjaga dipintu masuk, yang kalau siang hari kadang penuh dan ada penjaga didepan pintu yang bertugas untuk membersihkan WC dan kamar mandi serta tempat ber-Wudlu, dan juga menjaga sepatu atau sandal dengan imbalan setulusnya, kadang orang memberikan Rp.1000,- sebagai tanda kenyamanan dan kebersihan pada Musholla itu.
Seperti biasanya aku selalu memilih tempat pada bagian paling akhir dari karpet yang tidak bau itu agar dapat melihat kearah tempat biasanya Imam berdiri, selain itu supaya aku dapat melirik kearah kanan, lorong gang tempat para pengunjung hilir mudik yang agak redup dan berkata dalam hatiku mudah2 an tidak ada hantu seliweran disitu.
Aku melakukan Sholat malam, meskipun aku tidak ingat secara pasti berapa raka’at atau do’a bacaan apa yang musti kubaca dalam Sholat, tetapi aku berniat melakukan itu. Selesai Sholat itu aku ber Dzikir secara memusatkan pikiran dan perasaan penuh untuk mendekatkan diri kepadaNya, selesai Dzikir berkali kali, aku berdo’a seadanya dan juga menggunakan bahasa sehari hari dalam do’a itu. Aku yakin akan dimengerti karena Allah maha pencipta bahasa untuk komunikasi antar manusia juga.
Aku lebih mengutamakan niatku dan pemusatan segala indraku serta pikiranku untuk mendekat diri padaNya dan menyebut nyebut permohonanku secara perlahan lahan agar diterima dan dikabuli. Suasana begitu sunyi senyap dan hening, sekan suaraku sendiri begitu keras dan terdengar berulang ulang pada otakku yang lelah dan menjalar masuk kedalam dasar hati nuraniku. Terus kusebut sebut do’a dan permohonanku, kadang aku merengek seperti seorang anak kecil dan mengeluarkan airmata dan sejenak terisak pelan sambil terus memohon ridhoNya. Setelah badanku dan mentalku terasa lelah aku kembali kelorong gang didepan ICU dan seperti biasanya kugelar tiker terlebih dahulu, yang kebetulan dibawakan oleh supir kakak perempuaku pada sore hari itu dan bantal yang baru serta termos kecil berisi kopi, sebelum aku mencoba untuk tidur. Aku tidak ingat lagi jam berapa pada waktu itu, hanya yang kuingat secara pasti, bahwa malam hari itu tidak ada perawat yang menyodorkan resep untuk diambil di Apotek atau harus mengantar sesuatu keLaboratorium yang jaraknya agak jauh dan harusmelalui lorong gang yang mencekam dengan suasana dan bau Rumah Sakit yang tidak menenakkan hidung.
Aku tidur dengan lelap sekali, sampai aku tidak mendengar Adzan Subuh dan tidak melakukan Sholat Subuh pada pagi hari itu. Aku terbangun karena petugas kebersihan atau yang dinamakan oleh pegawai kantor gedung tinggi sebagai Cleaning Service telah tiba untuk membersihkan lantai serta kotoran sampah makanan atau minuman dari para pengunjung yang secara resmi tidak diizinkan bermalam di Lorong gang di depan ICU itu.
Begitu segar badanku dan perasaan hatiku, meskipun aku tidak sempat sahur atau Sholat Subuh, pada pagi hari itu.
Pengunjung dan pegawai serta pertukaran jadwal para perawat mulai berdatangan dan aku cepat berkemas membereskan peralatan tidurku, membersihkan badan di kamar mandi umum.
Aku tidak lelah sedikitpun seakan ada sesuatu diluar dugaanku atau kuasa diriku yang dapat membuat diriku seperti itu.
Siang harinya ada suatu yang membuatku merasa lebih lega, ketika perawat memanggil manggil dan menyebut nama Ibuku di Loudspeaker yang berisik itu agar aku cepat menghampirinya yang pada mulanya aku bertanya Tanya dalam hati, ada apa lagi?.
Aku hampir meloncat loncat karena senang ketika perawat itu menyodorkan secarik kertas yang bukan resep. Ibuku telah siuman dan kertas itu membuktikan dengan permintaan Ibuku akan cairan susu campur coklat yang khusus untuk penderita yang dirawat karena belum dapat menyantap makanan yang padat. Sepanjang jalan menuju Apotek di Matraman Raya, seakan akan aku ingin berteriak teriak keras memberi kabar ini kepada setiap orang yang berada disana.
Untuk kedua kalinya aku merasa diringani pikiran dan mendapat ketenangan lagi, ketika setelah Sholat Ashar menjelang sore hari, perawat memberikan resep untuk obat yang segera harus diambil di Apotek, yang kutahu kira kira obat itu sejenis obat ringan untuk menguatkan sedikit vitalitas tubuh, yang mungkin setelah waktu yang cukup lama tidak sadar diri, jenis obat atau kapsul itu sangat relativ diperlukan oleh tubuh ketika siuman kembali.
Raut dan Wajah sanak saudaraku tampak tidak begitu tegang dan cemas seperti hari hari yang berlalu sebelumnya, dan tidak memperlihatkan raut dan wajah yang sedang bersedih. Mereka sedang berkumpul didepan ICU setelah seperti biasanya selesai menjenguk dari ruang kaca, bercakap cakap sebentar didepan sana.
Salah satu dari mereka yaitu kakak perempuanku memberi tahu keadaan Ibuku yang telah siuman dan aku diharapkan segera
menemuinya didalam sana, karena ketika ia sadar, menurut cerita perawat yang berjaga disana, Ibuku selalu bertanya apakah aku berada didekatnya, dan kakakku menyampaikan pesan itu kepadaku.
Setelah kubersihkan anggota badan dan berkaca agar terlihat segar dan rapih, seperti senangnya Ibuku melihat diriku apabila aku berpenampilan rapih, dan juga bersih menurut aturan disana, aku segera bergegas menuju masuk kedalam ruangan yang suasananya lebih menyerupai Laboratorium besar untuk suatu pusat penelitian yang sangat modern, dibandingkan dengan ruangan di bagian bagian lain di RSCM, dimana didalam ruangan ini lebih banyak terlihat Instrument kedokteran yang modern untuk masa kini, dan lebih terlihat ada perawat dan Dokter yang berjaga duduk dibelakang meja yang diatasnya terdapat tumpukan kertas laporan Medis, peralatan komunikasi dan obat obatan yang mungkin untuk keperluan mendadak, diatas seperti panggung kecil ditengah ruangan itu, seakan dari panggung kecil itu semua sudut dalam ruangan akan terlihat dan terjangkau. Bukan hanya membuat pengunjung saja yang menjadi tenang, akan tetapi juga efisiensi dan fungsi yang diperlukan untuk pangawasan yang intensive serta perawatan yang memerlukan perhatian penuh secara khusus dan kecermatan tinggi untuk semua itu.
Perlahan lahan kudekati tempat tidur, dimana Ibuku berbaring seperti waktu waktu belakangan itu, hanya saja wajahnya tidak tertutup oleh benda apapun, sehingga aku dapat melihat jelas raut wajahnya yang pucat dan menandakan kelelahan yang sangat. Matanya memandang kosong kedepan sudut atas dan seakan berkaca kaca, bibirnya seperti tidak merah atau bahkan berwarna ungu, dan kerut wajahnya  terlihat jelas, rambutnya sedikit acak dan terlihat menjadi tipis, di lubang hidungnya terdapat selang kecil untuk bantuan pernafasan, tubuhnya diselimuti oleh jenis kain yang agak tebal milik Rumah Sakit sehingga tak terlihat apakah Ibuku menjadi kurus atau bertambah gemuk, juga tangannya dibawah selimut dan dibalut perban kecil untuk mengikat jarum infuse yang berselang kecil. Kuraba tangannya dibawah selimut tebal itu dan kutatap matanya yang masih menatap kosong kedepan, dan kucoba merapikan rambutnya yang acak dan membersihkan sedikit keningnya. Ia mencoba menoleh kearah ku tapi tak berhasil, dan hanya sempat melirik sedikit tanda ada reaksi darinya, dan ia coba tersenyum seperti biasanya, tetapi kali ini ia tersenyum sambil mengeluarkan airmata tanpa isak, yang kukenal semua itu tanda darinya, bahwa ia bangga, bersyukur dan rasa senang hati pada saat itu.
Kugenggam erat erat tangannya tanda aku mengerti dan ikut merasakan juga, sambil memandang kearahnya dan berusaha tersenyum.
“Allhamdullillah !Ya Allah ! Terima Kasih Ya Allah ! atas semua yang diberikan kepadaku dan Ibuku Ya Allah ! Subhaanallah ! Subhaanallah !”, ucapku pelan berkali kali dan dalam hati, seraya terus memandang wajah Ibuku yang tersenyum haru dan sekali kali melirik padaku ingin mengatakan sesuatu tapi tak mampu dan aku mengisyaratkan agar tidak usah berbicara, aku sudah mengerti. Hanya sepuluh menit lebih aku berada disamping Ibuku serasa hanya satu detik dikarenakan giliran sanak saudaraku yang lain ingin melihat dekat Ibuku. Peraturan ICU hanya diizinkan satu persatu menjenguk dan tidak diperkenankan rombongan atau perkelompok masuk kedalam ruangan dalam keadaan apapun juga.
Aku duduk termenung, tak kuasa memikirkan semua itu, pikiranku menerawang tak menentu seakan aku baru bangun dari mimpi yang sangat indah dan ingin terus diulangi dan tiada hentinya ! aku bertanya berkali kali dalam hati, apakah ini hal yang nyata? Ataukah hanya aku yang meng-ada ada ataupun juga berkhayal seperti seorang penderita depressi mental yang terkena schizophrenia? hingga tegur sapa sanak saudaraku tak kuhiraukan alias kuacuhkan, karena aku terasa belum sadar apa yang kurasa, kulihat dan menghadapi kenyataan yang baru saja terjadi itu.
Sekali lagi kuucapkan dalam hati dan kusebut sebut !, Ya Allah ! Ya Allah ! Ya Allah ! terima kasihku akan karunia dan berkah yang sangat tak dapat dilukiskan dengan kata kata ataupun dengan apa saja yang ada didunia fana ini !
Apakah ini suatu keajaiban atau cobaan ? berkali kali aku tetap bertanya tanya dalam dasar hati nuraniku. Yang pasti kujawab sendiri, ini adalah suatu keajaiban sebagai bukti kasih sayang Allah kepada hambanya yang memohon dengan tulus Ikhlas, dan Allah yang maha pemberi dan pengampun,  mengabuli do’a ku selama ini !, di bulan suci Ramadhan yang penuh Berkah dan Kemuliaan serta ampunan melebihi bulan bulan yang lainnya.
Aku merasa rendah diri dan bertanya lagi kediriku sendiri, pantaskah aku menerima semua ini? Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada seluruh hambaNya. Aku berpasrah diri kepada Allah.
Hari hari berikutnya tidak terjadi hal yang perlu dicemaskan, meskipun kadang kala angka dan huruf pada layar dan panel kelihatan tidak stabil dan sesekali terus naik-turun, akan tetapi tidak sangat menjadikan suatu yang harus diduga buruk akibatnya.
Akhirnya Tim Dokter berserta perawat yang sangat berkerja keras menangani Ibuku sangat gembira dengan hasil baik yang dicapai dan mengizinkan Ibuku dipindahkan dari ICU ke Pavilliun Cendrawasih diujung bagian kawasan RSCM.
Ibuku sedikit pulih kesehatannya, akan tetapi belum cukup kuat untuk dapat berdiri tegak dan berjalan kaki.
Di lorong gang menuju ke Pavilliun, diriku sangat bangga mendorong tempat tidur beroda itu, dan ingin berteriak teriak sekeras mungkin memberi tahu kepada orang orang yang berada disana, bahwa Ibuku pulih berkat kuasa Allah dan Ridhonya.
Tentu do’a sanak saudaraku dan kerja keras Tim Dokter serta perawatnya yang diberikan Ridho olehNya di bulan suci Ramadhan itu, mendapat Berkah dan KemuliaanNya juga.
Ibuku sudah bisa berbaring dengan posisi setengah duduk dan berbicara, meskipun suaranya agak parau sedikit dan kurang jelas terdengar, berkat therapy yang sangat intensive, hari hari berikutnya ia dapat berjalan jalan menggunakan kursi roda bersamaku diseputar kawasan didalam RSCM.
Selain aku sangat berterima kasih dan bersyukur kehadirat Illahi, aku bangga terhadap kekuatan daya tahan Ibuku dan keinginannya yang besar untuk kembali sehat, serta bersikap pasrah dan tawakal dibarengi ketabahan yang sangat, memikirkan usianya yang sudah Delapan Puluh Empat Tahun itu.
Insya Allah ! Ibuku akan sehat Wal afi’at dan dapat menggendong cucu dari putranya yang masih bujang ini.
Sampai semua ini tertulis dan beberapa hari lagi menjelang Idul Fitri 1430 H., Ibuku yang sekarang berusia Delapan Puluh Enam masih sering mengajak aku berjalan jalan kemana mana, meskipun aku tampak seperti supir pribadinya.
Subhaanallah ! Subhaanallah ! Subhaanallah !

Kota Bekasi, September 2009
Tawin QM.

“Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H.,
 Mohon Ma’af Lahir Bathin !”

Creative Commons License
Menu Cerpen: "Ramadhan" by R.Quintarto, S.Mn. is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.
Based on a work at http://jogosostro.blogspot.com

Galeri

poster und Kunstdrucke kaufen